Sunday, March 21, 2021

Home » » Kumpulan Cerita Dewasa Birahi Liar Di Dalam Keluarga Kami Part 8

Kumpulan Cerita Dewasa Birahi Liar Di Dalam Keluarga Kami Part 8


Kumpulan Cerita Dewasa - Tanpa terasa 6 bulan sudah berlalu. Dalam tempo setengah tahun itu banyak yang sudah terjadi.

Mama Hermin tidak mengedarkan pakaian ke pasar dan toko - toko lagi. Karena sudah punya toko sendiri. Toko yang tak kalah bagus daripada FO - FO di kota besar. Pakaian yang dijual pun bukan pakaian kodian lagi, melainkan pakaian yang mengikuti trend masa kini.

Mama Hermin pun tak lagi harus belanja secara rutin ke Jogja, karena ada supplier dari Bandung yang datang sendiri untuk menyimpan pakaian model terbaru. Memang dalam soal mode, Bandung selalu ngetop. Setiap hari selalu muncul model baru, yang belum ada di kota lain.

Dengan sendirinya Mama Hermin pun berubah penampilannya. Menyesuaikan diri dengan pakaian yang dijualnya. Hal itu membuatku bangga. Karena Mama Hermin jadi tampak semakin cantik di balik pakaian yang sesuai dengannya.

Tentu saja aku ikut berperan untuk memajukan usaha Mama Hermin itu. Karena aku selalu mentransfer dana untuk mengembangkan usahanya.

Namun hubunganku dengan Mama Hermin tetap dirahasiakan. Karena kami berusaha agar Charlita jangan sampai tahu. Maka semua kemasjuan yang telah dicapai oleh Mama hermin itu seolah berasal dari perjuangannya sendiri. Padahal aku berada di belakangnya.

Sementara itu insinyur pertanian untuk memimpin di lahan Mamie di Jatim dan Jateng sudah ada. Di Jatim dipegang oleh Yuniar, teman seangkatanku yang kebetulan lahir dan dibesarkan di Jatim, meski aslinya orang Sumatra. Lahan yang di Jateng, dipegang oleh teman seangkatanku yang biasa kupanggil Joko.

Kantor untuk urusan agro bisnis tetap di tempat yang tak jauh dari rumah Mamie. Tapi di Jogja aku buka kantor baru, untuk mengurus bisnis yang berasal dari dana Tante Tari. Kantor pusat urusan lahan - lahan Mamie baik yang di Jawa mau pun di luar Jawa, disatukan di kantor ini. Agar aku mudah mengurusnya kalau ada yang harus diselesaikan.

Kantor ini dibeli dengan dana Tante Tari 90% dan dana Mamie 10%. Karena urusan lahan - lahan Mamie hanya menggunakan satu ruangan. Itu pun ruangan kerjaku, karena aku tak membutuhkan asisten lagi untuk urusan lahan - lahan Mamie itu.

Sedangkan untuk urusan bisnis yang Tante Tari serahkan sepenuhnya padaku, membutuhkan sembilan ruangan, karena bisnisnya bermacam - macam (yang tak perlu dibuka satu persatu). Tentu saja aku yang memimpin semuanya itu.

Lalu bagaimana dengan ibu angkatku yang sejak kecil kupanggil Mama itu?

Nasib kandungannya ternyata malang sekali. Karena ketika kandungannya baru berusia 7 bulan, bayi di dalam perut Mama itu dinyatakan sudah meninggal, kata dokter yang merawatnya. Sehingga bayi yang sudah meninggal itu harus dikeluarkan. Untungnya Mama hanya diberi suntikan agar mulas - mulas. Kemudian bayi laki - laki yang tidak bernyawa lagi itu lahir, tanpa harus dioperasi dan sebagainya.

Aku bisa memaklumi hal itu, karena usia Mama memang sudah di atas 40 tahun. Tentu tidak mudah untuk hamil dan melahirkan di usia yang sudah tidak muda lagi itu.

Sementara itu, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah pada menikah. Dengan sendirinya mereka dibawa oleh suaminya masing - masing. Sehingga Mama tinggal sendirian di rumahnya yang di Subang itu.

Hal itu kusampaikan kepada Mamie. Bahwa Mama di Subang tinggal sendirian, karena anak - anaknya sudah pada kawin dan dibawa oleh suaminya masing - masing. Tentu saja masalah kehamilan Mama itu tidak kuceritakan kepada Mamie.

Maka Mamie berkata, “Kasihan juga ya. Biar bagaimana dia sangat berjasa pada kita. Kalau tidak ada dia, mamie takkan bisa terbang ke Hongkong saat itu, takkan berjumpa dengan pengusaha besar yang lalu menjadi suami mamie itu. Mama angkatmu yang membiayai kelahiranmu. Lalu merawatmu sejak bayi merah sampai dewasa.

Aku setuju kepada saran Mamie. Soal rumah, aku sudah membeli rumah di kompleks perumahan kelas menengah. Bukan di kompleks perumahan yang sudah dijadikan tempat tinggal Tante Tari dan Tante Artini itu. Aku membeli rumah itu untuk diriku sendiri. Karena terkadang aku merasa letih kalau harus pulang ke rumah Mamie.

Setelah mendengar saran Mamie, aku merencanakan rumah itu untuk tempat tinggal Mama.

Keesokan harinya aku menelepon Mama dari kantorku. Lalu :

“Hallo Sayang? Apa kabar? Sehat - sehat saja kan?”

“Sehat Mam. Mama sendiri gimana? Aku ingat terus nih sama Mama. “

“Mama juga sehat Sayang. “

“Mbak Rina dan Mbak Lidya suka nengok Mama nggak?”

“Rina kan dibawa pindah ke Palembang. Sedangkan Lidya pindah ke Jakarta. Sampai saat ini mereka belum ada yang nengokin mama, Sayang. “

“Kalau gitu Mama pindah ke Jogja aja ya. Rumah untuk Mama sudah kusediakan. Lumayan bagus kok rumahnya. “

“Mama kan punya usaha di Subang ini Sayang. Usaha mama justru sedang berkembang pesat sekarang ini. Bagaimana bisa mama tinggal di Jogja? Kalau mama kangen sama kamu, biarlah mama yang pergi ke Jogja. Tapi mama gak bisa menetap di Jogja, Bona Sayang… “

“Yaaahhh… Mama sih gitu. Padahal aku sudah berunding sama Mamie. Bahkan Mamie juga yang nyuruh aku beli rumah untuk Mama. “

“Iya. Terima kasih atas perhatian kamu dan mamiemu itu. Tapi mama bener - bener gak bisa ninggalin Subang Sayang. “

Aku pun memutar kata - kata yang intinya ingin agar Mama menetap di Jogja, tapi hasilnya nihil. Mama tetap tak mau pindah ke Jogja. Meski Mama merasakan kesepian di Subang, Mama akan memaksakan diri untuk terbiasa dengan suasana sepi itu.

Sehingga akhirnya aku menyerah. Kalau ingin memperlihatkan rasa sayangku padanya, mungkin harus transfer duit aja sebulan sekali. Tak ada jalan lain, karena kalau aku diminta pindah ke Subang pun takkan bisa.

Karena itu rumah yang akan direlakan untuk tempat tinggal Mama, akhirnya kupakai sendiri. Karena menurut seorang pakar bisnis, tiap pelaku bisnis harus menyediakan waktu sedikitnya 1 atau 2 jam untuk menyendiri dan merenungkan segala langkah bisnisnya, tanpa gangguan apa pun.

Sementara itu baik Tante Tari mau pun Tante Artini belum ada yang hamil. Padahal aku sudah “serajin mungkin” menggauli mereka. Bahkan aku dan Tante Tari pernah memeriksakan diri ke dokter. Jawaban dari dokter itu, “Dua - duanya normal. Sabar aja ya. “

Begitulah secara singkat tentang segala yang telah terjadi pada diriku dan orang - orang yang dekat denganku selama 6 bulan itu.

Sampai pada suatu hari…

Siang itu aku mau meninggalkan kantor, karena ada sesuatu yang harus kuurus di tempat lain. Namun ketika aku baru tiba di ambang pintu ruang kerjaku, tampak seorang gadis berkulit putih bersih dan berperawakan tinggi langsing tapi padat dan berisi, mengenakan celana dan baju yang sama - sama terbuat dari bahan blue jeans.

Ternyata dia Yuniar, teman seangkatanku yang kutugaskan untuk mengelola lahan Mamie yang di Jatim itu.

“Selamat pagi Boss, “ucap Yuniar sambil menjabat tanganku dengan sikap agak formal.

“Wow… kirain siapa, “sambutku sambil memeluk pinggang Yuniar, lalu cipika - cipiki dengannya. “Setelah tinggal di Jatim lagi, kamu jadi tambah cantik Yun. “

“Masa sih?! “Yuniar tersipu, “Tapi aku sedang ada masalah Boss. “

“Mmm… ayo duduk dululah, “kataku sambil menuntun Yuniar ke ruang tamu.

“Ada masalah apa?” tanyaku setelah Yuniar duduk di sofa ruang tamu kantor.

“Aku melarikan diri nih dari rumah ortu. “

“Ohya? Emangnya ada apa?”

“Mau dijodohin sama lelaki yang sudah tua. Cuma mau dijadiin bini muda pula. Gila kan?”

“Hahahahaa… kalau kaya raya kan nggak apa - apa. “

“Aaah… cuma punya mobil satu. Di zaman sekarang tukang bikin tempe juga bisa beli mobil lebih dari satu. “

“Terus… kamu tinggalkan tugasmu di lahan yang kupercayakan padamu?”

“Sudah ditanami bibit semua secara teratur sekali. Sekarang tinggal bersihkan rumput liarnya doang Boss. Pekerjaan itu kan bisa diberikan kepada buruh. Sekarang aku membutuhkan perlindunganmu Bon, “ucap Yuniar yang tiba - tiba menangis terisak - isak sambil memeluk dan merapatkan wajahnya ke dadaku.

Aku pun mengusap - usap punggungnya sambil berkata lembut, “Tiada masalah yang bisa diselesaikan dengan menangis. Coba katakan apa yang bisa kubantu agar kamu bisa merasa tenang dan nyaman?”

“Tolong sembunyikan aku Bon. Aku takut dipaksa pulang lalu dikawinkan dengan lelaki yang lebih pantas jadi ayahku itu… hikssss… hiksss… “

Aku berpikir sejenak. Dan langsung memutuskan untuk menyembunyikan Yuniar di rumah yang tadinya untuk tempat tinggal Mama itu. Tapi aku lalu teringat sesuatu. Maka kataku, “Kalau aku menyembunyikan kamu, aku bisa dituduh menculik anak orang. Itu bisa dipidana, Yun. “

“Aku bilang kantor pusatku di Jakarta. Bukan di Jogja. Jadi seandainya orang tuaku melapor kepada polisi pun, pasti aku akan dilacak di Jakarta. Bukan di Jogja. Lagian, seandainya pun aku ketahuan, aku akan membelamu habis - habisan nanti. Yang penting aku sembunyikan Bona yang baik… hiks… “

Tanpa berpikir panjang lagi, Yuniar kubawa ke rumah itu. Rumah yang di sana sini sedang diperbaiki oleh pemilik lamanya, tapi banyak yang belum selesai renovasinya. Sementara aku pun belum sempat memanggil tukang bangunan untuk melanjutkan renovasi yang belum selesai itu.

Tapi di bagian dalamnya, rumah itu bagus dan bersih. Furniture dan perabotan rumahnya pun sudah lengkap. Sehingga Yuniar langsung merasa nyaman setelah berada di dalam rumah itu.

“Di rumah ini Bona tinggal sendirian?” tanyanya sambil mengamati keadaan di dalam rumah ini.

“Iya, “sahutku, “Tapi seringnya aku tidur di rumah mamieku, agak jauh dari Solo, di pedesaan. “

“Aaah… kalau tinggal sendirian di rumah segede ini, aku takut Bon. Terutama pada waktu malam. Kalau siang - siang sih gak apa - apa, “ucap Yuniar sambil memegang kedua pergelangan tanganku, sambil menatapku dengan sorot memohon.

“Nanti kupertimbangkan dulu ya. Sekarang mandi dulu gih sana. Perjalanan dari Jatim ke sini kan jauh. Pasti banyak debu yang menempel di tubuhmu. “

“Mumpung Bona sedang ada di sini, temenin aku mandi sekalian yuk. “

“Mmmm?! Memang aku juga belum mandi sore nih. “

“Ya ayolah temenin aku mandi. “

“Nanti kalau aku tergiur melihatmu telanjang gimana?”

“Apa pun yang Bona inginkan dariku, akan kuberikan. Asalkan aku disembunyikan dan dilindungi di sini. “

“Serius nih?”

“Sangat serius, “sahutnya sambil mengangguk dan tersenyum manis sekali.

Sebenarnya Yuniar jarang sekali tersenyum. Sikapnya sering kelihatan formal. Tapi justru itulah yang kusukai, sehingga aku menempatkannya di Jawa Timur.

Ya, Yuniar tidak pernah sembarangan tersenyum, apalagi tertawa. Dengan kata lain, dia sosok berwibawa di mataku, sehingga kuanggap cocok untuk menjadi pemimpin di lahan Mamie yang di Jatim itu.

Dan kini Yuniar sudah mengikuti langkahku, masuk ke dalam kamar mandi ysng sudah ditata secara modern, namun tidak semewah kamar mandi rumah Mamie atau rumah Tante Tari.

Di dalam kamar mandi, Yuniar melepaskan busananya sehelai demi sehelai. Sehingga tinggal beha dan celana dalam saja yang masih melekat di badannya. Sementara aku sendiri sudah tinggal mengenakan celana dalam saja, karena sudah mau mandi juga. Dan setelah melepaskan behanya, Yuniar menutupi sepasang toketnya dengan kedua telapak tangannya sambil tersipu - sipu malu.

Namun aku menepiskan kedua tangannya itu, sehingga sepasang toketnya pun tampak di mataku. Dan… aduh maaaak… toket Yuniar ternyata gede… tak kalah indah dengan toket Charlita… !

Hasratku mendadak bangkit. Ketika Yuniar sedang melepaskan celana dalamnya, aku melangkah ke belakangnya. Lalu menggenggam kedua toketnya dengan kedua tanganku sambil berkata, “Gak nyangka toketmu luar biasa indahnya… “

Yuniar tidak menyahut. Sementara celana dalamnya sudah dilepaskan dari kakinya. Sehingga aku memindahkan tanganku ke bawah perutnya, ingin memegang sesuatu yang belum kelihatan karena aku masih berdiri di belakangnya.

Kusentuh rambut pendek - pendek sekali di bawah perut Yuniar. Kompak dengan Charlita, sama - sama berjembut tapi digunting rapi dengan model “cepak”.

“Katanya mau mandi… “ucap Yuniar tanpa menoleh padaku.

Tak kujawab. Bahkan bertanya, “Ini jembutnya dicukur di mana? Di salon?”

“Aaaah… guntingin sendiri aja. Masa ke salon cuma buat nyukur jembut. “

“Zaman sekarang kan musim di-waxing. “

“Iya sering denger. Malah sekarang ada yang baru lagi, pakai laser. Gak ada kerjaan, jembut - jembut aja diurusin. “

“Sepertinya kamu masih perawan Yun. “

“Ya iyalah. Bona lihat sendiri waktu masih kuliah, kapan aku suka dekat dengan cowok?”

“Kebayang enaknya… “gumamku.

“Apanya yang enak?”

“Memekmu ini… pasti enak sekali… masih perawan pula. “

“Iiih… kirain apaan… “

Aku ketawa kecil sambil melepaskan celana dalamku. Kemudian memutar keran shower air hangat.

Shower di atas kepala kami pun memancarkan air hangat ke kepala dan tubuh kami.

Yuniar berkali - kali memandang serius ke arah kontolku yang sudah ngaceng ini. Bahkan lalu seperti penasaran, digenggamnya kontol ngacengku sambil bertanya, “Nanti malam mau nemenin aku di sini kan?”

“Upahin sama memekmu ya, “sahutku bercanda.

“Sekujur tubuhku akan kupasrahkan padamu, asalkan kehadiranku di sini dirahasiakan dan dilindungi. Daripada dijadikan mangsa lelaki tua itu, mendingan kukasihkan pada teman lamaku yang sekarang sudah jadi bossku ini, “kata Yuniar sambil mendekap pinggangku, sehingga kontolku terasa bertempelan dengan memeknya.

Setelah selesai mandi, kubawa Yuniar ke dalam kamar yang biasa kupakai.

Kebetulan aku punya burger yang kusimpan di dalam kulkas. Lalu kukeluarkan burger - burger itu dan kupanaskan di dalam microwave. Seolah memberi contoh kepada Yuniar, bagaimana caranya kalau dia sedang lapar nanti. Karena di kamarku ada kulkas dan microwave. Di dalam kulkas pun banyak makanan dan soft drink yang bisa dinikmati pada saat lapar dan malas ke luar rumah.

Yuniar tampak senang melihat fasilitas sederhana yang bisa dimanfaatkan dalam masa persembunyiannya.

“Kalau berduaan terus begini, pasti akhirnya akan terjadi sesuatu di antara kita, “kataku sambil rebahan setelah menyantap burger bersama Yuniar.

Yuniar yang sudah mengenakan kimono wetlook putih, merebahkan diri di sampingku. Dan menyahut, “Aku sudah siap untuk diapakan juga. Bahkan untuk hamil pun aku siap. “

“Wah, jangan hamil dulu. “

“Kenapa?”

“Kalau kamu hamil, aku harus menikahimu. Sedangkan aku sudah punya calon istri, “ucapku berbohong. Padahal aku belum tahu siapa yang akan kujadikan calon istriku.

“Nikah siri kan bisa. Pokoknya dijadikan simpananmu juga aku mau. “

“Terus pekerjaanmu gimana? Mau resign?”

Yuniar menghela nafas panjang. Lalu berkata lirih, “Sebenarnya aku sangat mencintai tugas yang diberikan padaku itu. Apalagi sekarang, tanah ibumu itu sudah tertata dengan rapi. Dalam tempo singkat saja akan kelihatan menghijau. Sekarang sudah mulai musim hujan pula. Tanpa disirami pun pepohonan yang kutanam akan berkembang subur.

“Kalau kamu mengaku sudah punya pacar, orang tuamu bisa menerima?”

“Entahlah. Otakku masih blank. Tapi kalau mengaku sedang hamil, mungkin mereka akan menerima. “

Sebenarnya aku sudah semakin tertarik pada Yuniar, karena setelah diperhatikan dari dekat, dia itu cantik. Tapi aku belum bisa memutuskan apa - apa sebelum membuktikan keperawanannya.

Hal ini penting. Meski aku tidak perjaka lagi, tapi lelaki itu bersifat “membuang”. Sementara wanita bersifat “menyimpan”. Karena itu tidak mengherankan kalau ada kata - kata mutirara yang berbunyi

“Lelaki berbuat nista seribu kali, dunia masih tersenyum. Tapi wanita berbuat nista sekali saja, dunia akan menangis dibuatnya”.

Ya… karena wanita bersifat “menyimpan” itu.

Dan kini aku ingin membuktikan siapa sebenarnya Yuniar ini. Dia memang teman seangkatan denganku. Tapi aku belum tahu banyak mengenai kepribadiannya.

“Seandainya aku menjadi milikmu, aku merasa bangga, meski tidak menikah secara sah, “kata Yuniar pada suatu saat, sambil memegang tanganku dan meremasnya dengan lembut. Saat itu aku pun mengenakan kimono, yang terbuat dari bahan handuk berwarna biru muda.

“Kenapa merasa bangga meski cuma kujadikan simpanan?” tanyaku sambil merayapkan tanganku ke balik kimono Yuniar yang aku tahu tidak mengenakan beha maupun CD di balik kimono

“Aku mau jujur ya, “ucapnya sambil menatap langit - langit kamarku, “Sebenarnya sejak kita masih sama - sama kuliah, aku sudah punya perasaan suka padamu Bon. “

“Ohya?” cetusku pada saat tanganku mulai menyentuh jembut Yuniar.

“Iya. Tapi kamu kan seperti tidak mau didekati cewek. Mungkin karena sudah punya calon istri itu. “

“Terus?”

Yuniar malah memejamkan matanya sambil berkata, “Ooooh Bona… kalau memekku dijamah dan dicolek - colek gini… aku jadi pengen merasakan di… disetubuhi olehmu… “

“Kan memang juga aku akan menyetubuhimu. Tapi kalau kontolkju langsung dimasukkan ke dalam tempikmu, pasti kamu kesakitan. Makanya harus pelan - pelan dulu, “ucapku sambil melepaskan tali kimono Yuniar dan merentangkan kedua sisinya, sehingga bagian depan tubuh teman seangkatanku itu terbuka sepenuhnya.

Aku berpikir sesaat. Kemudian turun dari bed, mengambil lotion dari atas meja kertjaku. Dan kembali lagi ke arah Yuniar.

“Buat apa lotion itu Bon?” tanya Yuniar sambil menanggalkan kimononya.

“Buat pelumas… supaya liang memekmu licin, “sahutku sambil mendekatkan lotion itu ke memek Yuniar yang sudah celentang lagi.

“Memekmu banyak jembutnya. Kalau dicukur habis atau digunting pendek - pendek, dijilatin dulu juga bisa, “kataku sambil menyemprotkan lotion itu ke memek Yuniar.

“Kalau mau plontos, besok deh kucukur habis jembutnya, “ucap Yuniar sambil tersenyum.

“Kamu kalau sedang tersenyum, kelihatan cantiknya. Kenapa sih kamu jarang sekali tersenyum?” tanyaku.

“Gak tau Bon… sejak kecil aku terbiasa serius. Jadi nyaris gak ada yang bisa membuatku tersenyum, apalagi ketawa. Tapi untuk Bona… akan kuusahakan sering tersenyum deh, “sahutnya sambil tersenyum manis. Manis sekali senyum Yuniar itu.

“Naaah… kalau begitu kan kelihatan sekali cantiknya kamu ini, “ucapku yang kulanjutkan dengan menyemprotkan lotion sebanyak mungkin ke memek Yuniar. Bahkan celah menuju lubang sanggamanya pun kusemprot dengan lotion sebanyak mungkin.

Dalam tempo singkat aku yakin bahwa memek Yuniar sudah siap untuk dipenetrasi oleh kontolku yang sudah ngaceng berat ini.

Lalu kudorong sepasang paha Yun agar merenggang selebar mungkin. setelah mengusap - usap memeknya, agar lotion merata di setiap yang akan dimasuki kontolku, maka kuletakkan moncong kontolku tepat di belahan memeknya yang kelihatan sudah merah itu. Tanganku juga ikut campur meraba - raba memek bagian dalam Yun.

Lalu aku mengumpulkan tenaga dengan menarik nafas panjang beberapa kali. Dan kudorong kontolku sekuat tenaga. Langsung masuk sedikit demi sedikit… !

Aku pun merapatkan dadaku ke dada Yuniar. Yang disambutnya dengan pelukan di leherku diiringi bisikan, “Kalau Bona tau… sudah lama aku memimpikan hal ini Bon… “

Lalu dipagutnya bibirku ke dalam lumatannya, sementara kontolku mulai kugerakkan sedikit demi sedikit, dengan hati - hati pula agar jangan sampai terlepas dari liang memek Yun yang luar biasa sempit menjepitnya ini.

Awalnya gerakan kontolku terasa seret sekali. Tapi lama - lama liang sempit itu menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku, sehingga aku pun mulai lancar mengentotnya.

“Bona… oooh… obsesiku jadi kenyataan… luar biasa indahnya Boon… sekarang sekujur tubuh dan batinku sudah menjadi milikmu Bona… oooooh… Booonaaa… ini luar biasa indahnya Booon… “

Mulutku pun mulai aktif menjilati lehernya disertai gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan. Sehingga Yun semakin menggeliat, mendesah dan merintih - rintih histeris, “Booonaaaa… aaaaa… ssuuuhhhh… faaahhhh… Booonaaaa… ternyata lu… luar biasa indahnya sssseee… semua ini Booon…

Aaa… aku… aku… mencintaimu Booon… jangan buang aku nanti ya Booon… aku cinta kamuuu… cintaaaa Booon… cintaaaa kamuuuu… sudah bertahun - tahun aku kagum padamu… dan sekarang bukan kagum lagi… sekarang aku cintaaaa… cinta padamu Booon… dengan segenap jiwakuuuu… dijadikan budak cintamu juga aku maaaauuuu …

Aku mendengarkan semua ocehan histerisnya itu. Namun mulutku sedang berpindah sasaran. Mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya.

Yuniar pun semakin klepek - klepek dibuatnya. Terlebih ketika aku mencium bibirnya, Yun langsung melumat bibirku dengan lahapnya.

Diam - diam aku membanding - bandingkan Yuniar dengan perempuan - perempuan lain yang pernah kugauli. Dan aku yakin… bahwa Yuniar ini yang paling enak di antara semua perempuan yang pernah kugauli. Sehingga aku merasa harus menyayanginya. Dan harus mempertimbangkan ke depannya kelak. Bukan sekadar melampiaskan nafsu birahi semata.

Dan… pada waktu aku sedang gencar - gencarnya mengentot, aku menarik kontolku sampai terlepas. “Uff… lepasss… gak disengaja, “ucapku pura - pura tak sengaja mencabut kontolku. Padahal aku ingin menyelidik sesuatu di bawah memek Yuniar. Darah perawan itu… Ya… setelah menyaksikan darah perawan itu, perasaanku jadi semakin luluh.

Kemudian kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Yuniar yang luar biasa enaknya ini.

“Kamu benar - benar masih perawan sebelum kumasukkan kontolku ke dalam liang memekmu, “ucapku sambil merapatkan pipiku ke pipi Yuniar.

“Ya iyalah… pacaran aja aku belum pernah. Mana bisa hilang virginitasku… “sahut Yuniar disusul dengan ciuman mesranya di bibirku. “Ini juga kalau bukan sama Bona sih takkan kuserahkan kesucianku. “

“Memangnya aku sebegitu istimewanya bagimu Sayang?” tanyaku sambil mencolek bibirnya yang sebenarnya sensual itu.

“Sangat penting… karena baru sekali ini aku merasakan cinta. Jadi… Bona adalah cinta pertamaku… semoga jadi cinta terakhir juga… ooooo… oooooohhhhh… Boooon… ini jadi enak lagi… ooooo… ooooooh… “ucapan Yuniar dilanjutkan dengan rintihan - rintihan histerisnya, karena kontolku sudah mulai mengentot liang memeknya lagi.

Mulutku pun mulai beraksi. Ketika tangan Yuniar direntangkan, kuserudukkan mulutku ke ketiaknya. Lalu menjilati ketiak yang harum deodorant itu, disertai dengan gigitan - gigitan kecil dan sedotan - sedotan kuat.

Yuniar pun semakin menggelepar - gelepar bersama rengekan dan rintihan histerisnya. “booon… ooooohhhhh… Boooon makin lama makin indah dan nikmat Booon… mungkin inilah yang disebut surga dunia Booon… oooo… ooooohhhhh… Boooon… “

“Ya, kita memang sedang berada di surga dunia Sayang, “sahutku terengah, tanpa menghentikan entotanku.

“Oooo… oooo… oooooh… benarkah Bona sayang padaku?”

Kucium bibir sensual Yuniar, lalu berkata terengah, “Aku… harus… menyayangi dsn melindungi cewek yang… telah menyerahkan kesuciannya padaku… “

“Ooooh… aku bahagia sekali mendengarnya… “ucap Yuniar disusul dengan ciumannya yang bertubi - tubi di pipi dan di bibirku.

Aku pun menggencarkan entotanku kembali. Maju mundur dan maju mundur terus di dalam jepitan liang memek Yuniar yang luar biasa sempitnya ini.

Aku bisa memperpanjang durasi entotanku. Tapi aku tak mau menyiksa Yuniar yang baru sekali ini merasakan disetubuhi. Karena itu ketika Yuniar berkelojotan sambil mendesah - desah… aku pun semakin mempercepat entotanku, dengan tujuan agar ejakulasiku berbarengan dengan orgasmenya Yuniar.

Maka pada suatu saat, ketika Yuniar mengejang tegang, kontolku pun menancap di liang memekya tanpa kugerakkan lagi.

Lalu kami seperti kerasukan. Saling cengkram dan saling remas dengan nafas sama - sama tertahan.

Lalu nafasku berdengus - dengus dengan kontol mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku di dalam liang memek Yuniar yang juga tengah berkedut - kedut.

Croooottttt… crottt… crooooooooooooootttt… croootttttt… crotttttt… croooooootttttttttttt… crooooooooooooooooooooooooottttttttttttttttttttttt… !

Kami pun terkapar dengan tubuh bermandikan keringat.

Lalu sama - sama terkulai di pantai kepuasan.

Ketika malam semakin larut, Yuniar merengek ingin disetubuhi sekali lagi. Aku pun mengabulkannya. Karena nafsuku memang sudah bangkit lagi.

Tapi dalam ronde kedua ini durasiku lumayan panjang. Sehingga Yuniar lebih dari dua kali orgasme. setelah dia tampak kepayahan, barulah aku berejakulasi.

Setelah bersih - bersih di kamar mandi, kami pun tertidur nyenyak sambil berpelukan.

Esoknya aku bangun kesiangan.

Ketika aku terbangun, aku tertegun melihat Yuniar sudah berubah 180 derajat. Memang dia masih mengenakan baju kaus dan celana pendek yang serba biru muda. Baju dan celana pendek yang dikenakannya waktu tidur semalam. Tapi wajahnya sudah bermake-up, meski cuma make-up tipis. Bibir sensualnya pun sudah dipolesi lipstick, juga cuma polesan tipis.

“Nah… kalau sedang tersenyum begitu, kamu cantik sekali Yun, “pujiku sambil membiarkan bibir sensualnya mencium sepasang pipiku.

“Sebenarnya aku ini anak broken home sejak ibuku meninggal dunia, pada waktu usiaku baru sepuluh tahun. Kemudian ayahku menikah lagi dengan seorang gadis yang usianya hanya lebih tua enam tahun dariku. Mungkin sejak saat itulah aku sangat jarang tersenyum, “kata Yuniar sambil menunduk.

“Berarti sekarang ibu tirimu baru berusia tigapuluh tahun?” tanggapku.

“Iya. “

“Apakah ibu tirimu galak seperti anjing boxer?” tanyaku.

“Galak sih nggak. Mmm… dia baik kok. Bahkan terkadang dia lebih baik daripada Papa. Tapi sebaik - baiknya ibu tiri, tentu takkan sebaik ibu kandung. Yah, minimal aku tidak bisa merasakan lagi pelukan hangat seorang ibu… “

Lalu Yuniar menceritakan pengalaman masa kecilnya. Bahwa ketika pulang dari sekolah, ia ikut ke rumah temannya. Begitu temannya tiba di rumah, temannya disambut dengan pelukan dan ciuman ibunya. Sering Yuniar melihat temannya diperlakukan sepoerti itu oleh ibunya. Sementara Yuniar sendiri?

Yuniar tidak pernah dimarahi apalagi dipukul oleh ibu tirinya. Tapi Yuniar tidak pernah dipeluk dan diciumi seperti perlakuan ibu kandung terhadap teman Yuniar itu. Padahal waktu ibu kandungnya masih hidup, Yuniar selalu disambut dengan pelukan dan ciuman sayang juga, seperti temannya itu.

Itulah sebabnya Yuniar menganggap sebaik - baiknya ibu tiri, takkan sebaik ibu kandung.

Selain daripada itu, ada hal yang tidak disukai oleh Yuniar. Pada waktu ibunya masih hidup, ayah Yuniar selalu dominan sebagai pemimpin di rumahnya. Tapi setelah ibunya meninggal dan ayahnya kawin lagi, keadaan menjadi sebaliknya. Ibu tirinya yang kelihatan berkuasa di rumahnya. Dalam hal apa pun ayahnya selalu mengalah.

Semua itu diamati oleh Yuniar sejak kecil sampai dewasa.

“Mungkin hal itulah yang membuatku jarang tersenyum, apalagi ketawa, “ucap Yuniar di akhir penuturannya. “Tapi sejak saat ini aku akan berusaha berubah, karena aku sudah jadi milikmu… cowok yang kudambakan sejak semester pertama waktu masih kuliah dahulu. “

“Apakah kamu merasa bahagia setelah menjadi milikku sekarang.” tanyaku sambil mendekap pinggang Yuniar.

“Sangat bahagia. Nih lihat… apa yang Bona inginkan sudah kulakukan, “kata Yuniar sambil melepaskan celana pendeknya. Lalu berlutut di lantai sambil melepaskan celana dalamnya.

‘Sudah bersih sekarang kan?” Yuniar menatapku dengan senyum manis. Sementara aku terlongong setelah memperhatikan memeknya yang sudah bersih dari jembut. Bersih sekali.

“Hahahaaaa… “aku tergelak - gelak ketawa, sambil mendekap pinggangnya. Lalu mengangkatnya ke atas bed.

“Kalau sudah bersih begini, enak jilatinnya, “kataku sambil mengusap - usap memek Yuniar yang sudah bersih plontos itu. “Tapi aku mau mandi dulu ya. Kamu sudah mandi?”

“Sudah dari tadi, begitu bangun langsung mandi. Ohya… itu ada toaster dan rotinya juga. Mau dibikinin roti bakar buat sarapan?”

“Boleh, “sahutku, “tapi yang terpenting harus ada kopi. Kopi hitam aja, jangan pakai apa - apa lagi. “

“Gula sih pakai kali ya?”

“Jangan. Aku senang kopi pahit Sayang. “

“Mmmm… bahagianya hatiku kalau sudah dipanggil sayang sama kamu Bon… “Yuniar memejamkan matanya sambil mengelus - elus telapak tanganku.

“Ya udah aku mau mandi dulu ya, “ucapku sambil turun dari bed.

“Iya, aku mau nyiapkan sarapan buat pangeranku, “sahut Yuniar sambil turun dari bed juga.

Sementara aku langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Pada waktu sedang mandi, aku memikirkan masalah Yuniar itu. Sebenarnya dia sudah memenuhi kriteriaku untuk menjadi calon istriku. Terlebih lagi kalau aku mengingat pepatah, “Carilah pasangan yang mencintaimu, jangan hanya sekadar yang kamu cintai… “

Dan aku percaya bahwa Yuniar sangat mencintaiku. Tapi aku tak mau terburu - buru. Aku belum tahu karakter dia yang sebenarnya. Latar belakang keluarganya pun harus kuselidik dahulu lebih jauh. Karena sekalinya aku melangkah maju, pantang untuk surut lagi ke balakang.

Selesai mandi dan berpakaian casual, aku duduk di atas sofa ruang keluarga. Karena roti bakar keju dan secangkir kopi panas sudah dihidangkan di situ.

Tak lama kemudian Yuniar pun muncul dan duduk merapat ke samping kiriku, dengan senyum manis di bibir sensualnya lagi. Mungkin dia sedang melatih untuk tersenyum terus manakala berdekatan denganku.

Lalu ia merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku, sambil berkata setengah berbisik, “Abis sarapan, main lagi ya. “

“Main apa? Pengen dientot lagi?” tanyaku sambil menggelitik pinggangnya.

“Iya. Kan jembutku sudah dicukur abis. Harus dicobain apa bedanya berjembut dengan tidak. “

“Buatku sih yang berjembut dan yang botak punya kelebihan masing - masing. Jadi… sama aja enaknya. “

“Pasti ada bedanya lah. “

“Mmm… kalau digundulin, memang enak ngejilatinnya. Kalau gondrong kan bisa ada jembut bisa nyangkut di gigi. “

“Hihihiiii… pengen nyobain kayak apa sih memek dijilatin… “

“Dahulu orang bule banyak yang pelihara anjing, lalu dilatih untuk menjilati memek majikannya. Tapi sekarang manusia yang jilatin memek, “kataku sambil menarik pinggang Yuniar, agar dia duduk di atas kedua pahaku.

Setelah Yun duduk di atas pangkuan, tanganku langsung menyelinap ke balik celana pendeknya yang longgar dan… langsung menyentuh memeknya yang baru habis dicukur itu.

“Bekas kemaren sore, sakit nggak?” tanyaku.

“Nggak, “Yuniar menggeleng.

“Hebat. Kamu memang bukan cewek cengeng. “

Lalu aku bangkit sambil membopong tubuh Yuniar, menuju ke dalam kamar.

Ketika aku mulai menjilati memeknya, Yuniar pun mulai menggeliat - geliat. Sambil meremas - remas kain seprai yang baru diganti olehnya dengan kain seprai bersih pada waktu aku sedang mandi tadi.


Terlebih ketika aku mulai menjilati itilnya, Yuniar pun mulai mengusap - usap rambutku sambil mendesah - desah, “Booon… aaaaaa… aaaaah… Booon… dijilatin gini… fantastis sekali Booon… sama aja enaknya dengan dientot… aaaaa… aaaaah… Booonaaaa… aku… aku jadi semakin dalam mencintaimu Booon …

Aku semakin gencar menjilati itilnya sambil sesekali kusedot - sedot bagian yang cuma sebesar kacang kedelai itu.

“Adududuuuuhhh… Boooon… kok rasanya aku… aku mau orgasme Booon… gimana Boon?’ ri ntih Yuniar pada suatu saat.

“Lepasin aja… kalau mau orgasme… lepasiiin… “ucapku sambil menghentikan jilatanku. Tapi lalu menjilati itilnya kembali lebih lahap… juga kusedot - sedot, sampai itilnya kelihatan agak “mancung”.

“Boonaaaaa… Bonaaaaa… aaaaaaaaah… Booonaaaa… “Yuniar memekik - mekik tertahan, sambil mengepak - ngepak kasur, seperti burung patah sayapnya, ingin terbang tapi tak bisa.

Yuniaar berkelojotan. Sampai akhirnya ia mengejang tegang. Pada saat yang sama, kubenamkan kontol ngacengku ke dalam liang memeknya… blesssss… aku memang ingin merasakan nikmatnya menghayati liang memek yang sedang orgasme.

Pada saat itulah Yuniar meremas p- remas bahuku sambil menahan nafasnya. Kemudian kurasakan liang memeknya berkedut - kedut erotis. Nikmat… nikmat sekali merasakan liang memek yang tengah bergerak - gerak spontan seperti ini.

“Oooooh… Booonaaaa… kok baru dijilatin aja luar biasa enaknya Bon… “

“Terus, gak pengen dientot sama kontolku?” tanyaku sambil mempermainkan pentil toket Yuniar.

“Maaauuu… tapi sebentar… istirahat dulu… masih pada ngilu - ngilu nih… mmm… sekujur tubuhku sudah menjadi milikmu… hatiku juga sudah menjadi milikmu. Tapi… bisakah Bona menjadi milikku?”

“Bisa… tapi aku punya banyak perempuan yang menyangkut bisnisku. Sehingga aku harus membagi waktu dengan semuanya. “

“Perempuan menyangkut bisnismu?”

“Iya. Aku takkan seperti ini kalau tidak ada mereka. Kamu mengerti apa maksudku kan?”

“Iya, iya, iyaaa… gak apa - apa. Aku hanya ingin nikah siri denganmu, lalu hamil… aaaah… betapa bahagianya hatiku kalau bisa mengandung anakmu kelak. “

“Bisa… itu bisa. Memangnya kamu sudah siap untuk menjadi seorang istri dan seorang ibu?”

“Kalau sama kamu… aku sangat siap menjadi seorang istri Bon. “

“Meski pun kamu bukan satu - satunya istriku?”

“Iya. Yang penting aku bisa ikut memilikimu seumur hidupku… “

Tiba - tiba handphone Yuniar berdering, sehingga memutuskan percakapan kami berdua.

Dengan susah payah Yuniar meraih hanphone yang tergeletak di atas meja kecil dekat bed, sementara kontolku masih menancap di liang memeknya dan belum digerakkan sama sekali.

Begitu melihat layar ponselnya, Yuniar berseru perlahan, “Dari Mama… ! “

“Dari mama tirimu?” tanyaku.

“Iya. Gimana ya? Angkat jangan?” tanya Yuniar tampak bimbang.

“Terima aja. Keluarin suaranya biar aku bisa ikut dengar, “kataku, “Bilang aja kamu sedang bersama calon suamimu. “

Sambil celentang, dengan memek masih menjepit konyolku, Yuniar membuka call dari ibu tirinya itu.

“Hallo Mam… “

“Yun… kamu sebenarnya di mana sekarang?”

“Jauh dari kampung Mam. “

“Iya di mana? Kamu gak sayang ya sama mama dan papamu? Sekarang Papa sakit tuh, gara - gara kamu kabur dari rumah. “

“Iya, tapi kalau Papa dan Mama berkeras mau menjodohkanku dengan lelaki tua bangka itu, aku takkan mau pulang. anggap aja aku sudah mati Mam. “

“Sayang… kamu gak boleh ngomong gitu. Soal rencana perjodohanmu itu, biar nanti mama yang desak Papa supaya jangan memaksamu. Sekarang katakan dong, di mana kamu berada? Mama akan menyusulmu, karena mama kuatir… takut terjadi apa - apa padamu. “

“Aku di rumah calon suamiku Mam. “

“Calon suami siapa? Kok tiba - tiba kamu mengaku punya calon suami segala?”

“Iya Mam. Dia siap untuk menikah denganku, asalkan lewat nikah siri dulu. Karena dia juga sudah dijodohkan oleh orang tuanya, tapi dia inginnya menikah denganku. “

“Kalau mama boleh tau, siapa calon suamimu itu? Apa pekerjaannya?”

“Dia bossku Mam. Pemilik perkebunan yang sedang kugarap itu. “

“Ohya?! Bisa mama ngomong sama dia sekarang?”

Yuniar menatapku sambil memberi isyarat, seolah bertanya apakah aku mau menerima keinginan mama tirinyua untuk berbicara denganku?

Aku mengangguk sambil menengadahkan telapak tanganku. Yuniar pun meletakkan hapenya di telapak tanganku. Lalu aku berkata di dekat handphone Yuniar, “Selamat pagi Bu. “

“Pagi. Maaf ya… apa benar yang berbicara ini pemilik perkebunan tempat Yuniar bekerja?”

“Betul. Ada yang bisa kubantu?”

“Anda kan tadinya teman kuliah Yuniar. Betul?”

“Betul. “

“Bisakah Anda menjawab secara gentleman, di mana sekarang Anda dan Yuniar berada?”

“Di Jogja Bu. “

“Bisa aku ke tempat Anda untuk menemui Yuniar besok?”

“Kalau niat Ibu baik, silakan. Kami akan menerima kedatangan Ibu dengan kedua tangan terbuka. “

“Tentu aja dengan niat baik. Besok aku akan ke Jogja. Bisa Anda dan Yuniar menjemput di stasiun kereta api?”

“Bisa. Telepon aja kalau keretanya sudah dekat Jogja. “

Sepertinya aku sudah bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Yuniar. Tapi Yuniar malah menatap langit - langit kamar sambil berkata, “Kalau mau jemput ke stasiun, bisa Bona sendiri aja yang jemput?”

“Lho kenapa gitu?” tanyaku heran.

“Aku takut Papa datang… bawa teman - temannya yang biasa mendukung di belakang. Lalu aku dibawa dengan paksa ke Madiun. Kalau bisa, aku sih dimunculkan setelah keadaan benar - benar udah clear aja Bon. “

“Kalau mau clear sekali, kamu ngumpet di kantorku aja. Di ruang kerjaku ada bed dan kamar mandi segala. Gimana?” tanyaku.

“Iya, itu lebih baik. Nanti kalau sudah benar - benar clear, call aku aja. Dan aku akan secepatnya ke sini. “

“Iya. Nanti bilang aja kamu lagi ada tugas yang harus diselesaikan dulu di luar kota. Terus kasihkan nomor hapeku ke ibu tirimu. Ohya… nama ibu tirimu itu siapa?”

“Fience. Kalau Papa sih manggilnya Fien aja. “

Obrolan serius itu, membuat kontolku melemas sendiri di dalam liang memek Yuniar. Tapi kupaksakan juga agar ngaceng kembali.

Memang berhasil tegang dan siap tempur lagi. Tapi suasana perasaan masih galau, sehingga aku tidak bisa menikmati persetubuhan ini secara sempurna.

Biarlah, yang penting sudah ngecrot. Lalu aku turun dari tempat tidur, dengan pikiran masih bercampur aduk.

Keesokan harinya, pagi - pagi sekali Yuniar mendapat call dari ibu tirinya, mengatakan bahwa sang Ibu Tiri sudah berada di jalan menuju Jogja. Pada saat itulah Youniar berkata, bahwa ada masalah pekerjaan yang mendadak dan membuatnya harus ke luar kota. Lalu nanti yang akan menjemput ke stasiun adalah aku.

Kemudian kuantarkan Yuniar ke kantor.

“Nah di balik partisi itu ada bed buat istirahat. Kamar mandi dan toilet juga ada. Kalau mau makan, suruh pelayan kantor menyediakannya, “kataku setelah berada di ruang kerjaku.

“Bona mau pergi sendirian ke stasiun?”

“Aku akan bawa beberapa orang petugas security. Tapi mereka pakai mobil lain. Mereka hanya ditugaskan mengawal di stasiun aja. Kalau kelihatan aman, mereka akan kusuruh meninggallkan stasiun lagi. “

Setelah berunding sebentar dengan Yuniar, aku pun kembali ke sedan hitamku dan menjalankannya ke arah stasiun Tugu. Diikuti oleh mobil security di belakang.

Seolah mau “show of force”, sengaja aku membawa 12 orang security berseragam hitam - hitam semua. Jadi seandainya ayah Yuniar datang dan membawa teman - temannya, aku pun sudah siap dengan membawa “pasukan”ku.

Tapi ternyata semuanya itu seperti komedi belaka. Karena kebetulan penumpang yang keluar dari pintu kedatangan hanya beberapa orang. Kebanyakan wanita tua semua. Hanya seorang wanita muda di antara mereka, yang mengenakan blazer dan rok span biru tua, dengan blouse putih di dalamnya. Cocok seperti laporan Yuniar tadi, bahwa ibu tirinya mengenakan blazer dan spanrok biru tua dengan blouse putih di baliknya.

Spontan aku menghampirinya dan bertanya, “Maaf… Ibu Fience?”

“Iya, “sahut wanita 30 tahunan itu sambil tersenyum, “Ini Bona?”

“Betul Bu, “sahutku sambil menjabat dan mencium tangannya, sebagaimana layaknya seorang calon menantu kepada calon mertuanya, meski calon mertua itu terlalu muda.

“Waduuuuh… pantesan Yuniar gak mau dijodohkan. Ternyata pacarnya begini gantengnya… “Bu Fien merangkul dan menciumi sepasang pipiku. Membuatku jadi salah tingkah. Apalagi kalau mengingat adanya para petugas security yang berderet di belakangku.

Kemudian salah seorang petugas security kuperintahkan untuk membawa kopor pakaian yang dibawa oleh ibu tiri Yuniar itu ke dalam bagasi sedan hitamku.

Bu Fience yang berkulit sawomatang dan berbibir sensual itu terlongong melihat para pengawalku dan sikap mereka sedemikian hormatnya padaku.

Namun setelah koper Bu Fience sudah dimasukkan ke dalam bagasi sedan hitamku, kusuruh para petugas security itu kembali ke kantor. Sementara aku membukakan pintu sedan hitamku yang di depan sebelah kiri, kemudian kupersilakan Bu Fience masuk ke dalamnya.

Setelah ibu tiri Yuniar duduk di dalam mobil, bergegas aku masuk ke belakang setir.

Begitu mobil kujalankan, ibu tiri Yuniar itu mulai berkicau. “Pantesan Yuniar dibelain lari dari rumah setelah mendengar akan dijodohkan dengan orang. Ternyata pacarnya ganteng sekali. Hihihihiiii… makanya kamu harus berbaik - baik sama mama ya. Karena papanya Yuniar bisa mama kendalikan. Kata mama hijau, ya hijau pula dia.

“Iya, “sahutku, “aku akan berusaha untuk sebaik mungkin kepada Ibu. “

“Panggil mama aja, jangan ibu - ibuan ah. “

“Iya Mam, “sahutku.

“Duh dipanggil Mam sama kamu… kalau lagi berdua begini sih aku juga mau manggil Pap sama kamu ya Bon. “

“Hahahaaa… ya suka - suka Mama lah, “sahutku dengan perasaan yang ganjil menyelinap ke dalam batinku. “Mama mau makan dulu?”

“Nggak ah masih kenyang. Tadi makan di kereta api. Ohya… Yuniar pulang ke Jogja lagi kapan?”

“Paling juga besok pagi baru pulang mam. “

“Terus di rumah ada siapa aja?”

“Nggak ada siapa - siapa. Rumah itu belum lama kubeli. Sebenarnya rumahku di sebelah utara Solo, masih jauh lagi. Rumah di Jogja sih hanya untuk tempat istirahat aja Mam. “

“Berarti nanti hanya kita berdua aja di rumah itu?”

“Iya Mam. Sampai besok pagi hanya kita berdua di rumah itu. “

“Asyik dong… kamu bisa nemenin mama tidur kan?”

“Takut Mam. “

“Takut apa?”

“Takut nggak kuat nahan nafsu. “ “Hihihihiiii… emwuaaaaah… “Mama Fien ketawa yang berujung dengan kecupan hangat di pipi kiriku, “Memangnya mama masih menarik di matamu?”

“Masih menarik. Mama item manis dan seksi, “sahutku nyeplos begitu saja.

“Syukurlah. Kirain mama gak menarik lagi di mata cowok semuda dan seganteng kamu. Jadi mama bisa menjalankan rencana. “

“Rencana apa?”

“Rencana agar kita kompak. Sementara masalah papanya Yuniar, mama yang jamin. Pernikahan kalian akan berjalan lancar. “

“Tapi aku hanya bisa nikah siri Mam. Soalnya aku… “

“Sudah dijodohkan sama orang tua?” potong Mama Fien, “Kan Yuniar juga udah ngasih tau masalah itu. “

Aku tidak menanggapi karena sedang membelokkan mobil ke depabn garasi rumahku.

“Ini rumahmu?” tanya Mama Fien.

“Iya Mam. Masih banyak yang harus direnovasi, tapi belum sempat. “

“Waaaah… rumah segede dan semegah gini, mau direnovasi apanya lagi?”

“Di lantai dua, direnovasi oleh pemilik lamanya. Belum selesai keburu butuh duit lalu dijualnya padaku. Tapi di lantai bawah sih sudah lumayan rapi. “

Lalu wanita bertubuh tinggi langsing berkulit sawomatang itu masuk ke dalam rumahku.

“Nanti setelah nikah Yuniar akan tinggal di rumah ini?” tanyanya sambil memandang ke sekeliling ruangan demi ruangan yang dilewatinya.

“Proyeknya kan di Jawa Timur. Jadi mungkin hanya hari - hari weekend aja dia bisa tinggal di rumah ini. Nah… ini kamar untuk Mama tempati selama tinggal di Jogja. “

“Berarti kalau mama mau ke sini, harus di hari - hari yang bukan weekend ya. Supaya tidak bentrok waktunya dengan Yuniar. Hihihihiiii… “Mama Fien ketawa cekikikan sambil mendekap pinggangku dari belakang.

Aku semakin mengerti apa yang dipikirkan oleh ibu tiri Yuniar yang manis dan lincah itu.

“Jadi Mama ingin ketemu sama aku secara rutin?”

“Iya… entah kenapa… begitu melihat Bona, mama jadi kesengsem Bon… sambil membayangkan betapa indahnya kalau… ah… malu mengatakannya… “

“Kalau apa Mam?”

“Kalau didekap dan digumuli oleh anak muda seganteng Bona… “sahutnya agak bergetar.

Aku pun berpikir dengan cepat. Bahwa tiada salahnya kalau aku dekat dengan ibu tirinya Yuniar ini, meski mungkin mengandung resiko kalau ketahuan oleh Yuniar nanti.

Dan aku tak mau munafik, bahwa sejak melihatnya di stasiun Tugu tadi, aku sudah tertarik pada Mama Fien ini. Terutama kulitnya yang berwarna kecoklatan itu, memang sudah lama kuidam - idamkan. Karena perempuan - perempuan yang punya hubungan rahasia denganku, termasuk Mama dan Mamie, berkulit putih bersih semua (putih untuk ukuran bangsaku).

“Kalau diizinkan, mama pengen mandi dulu, boleh?”

“Tentu aja boleh. Apa mau kutemani mandinya biar bisa gantian menyabuni. “

“Aaaaaw… ayoooo… justru mama seneng kalau Bona mau mandi bareng… biar bisa saling selidik sekujur tubuh kita… bisa saling menyabuni dan aaaah… ayo Bon… di mana kamar mandinya?”

“Kamar yang kuberikan untuk tempat istirahat Mama itu ada kamar mandinya Mam. Ohya… kopernya ketinggalan di mobil ya. Sebentar… kuambilin dulu… !”

Aku bergegas menuju mobilku, membuka tutup bagasi dan mengeluarkan koper pakaian Mama Fience. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah dan menghampiri Mama Fien yang sudah berada di kamar yang sudah kuperuntukkan baginya itu.

“Ini kopernya Mam, “kataku sambil meletakkan koper berwarna orange itu di atas meja kecil yang fiapit oleh dua sofa.

“Oh, iya… terima kasih Bona ganteng, “sahut Mama Fien yang disusul dengan kecupan hangat di pipiku. Maka kali ini aku yang merengkuh lehernya, untuk memagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatan hangatku.

Mama Fien pun bereaksi, dengan meremas - remas bahuku sambil balas melumat bibirku.

“Jadi kita udah sepakat nih?” tanya Mama Fien sambil menanggalkan blazer dan spanroknya yang serba biru tua.

“Bahwa kita akan menjalin hubungan rahasia?”

“Iya… cerdas sekali bossnya Yuniar yang bakal jadi calon mantuku ini, “ucapnya sambil menanggalkan blouse putihnya. Maka tinggal celana dalam dan beha yang serba putih masih melekat di badannya.

Pada saat itulah aku bergerak ke belakang Mama firn, lalu mendekapnya dari belakang. Terasa hangat pinggang ibu tiri Yuniar ini. Tapi tujuanku bukan hanya sekadar ingin mendekap pinggangnya, karena tanganku dengan cepat menyelusup ke balik celana dalam putihnya.

‘Aaaaw… langsung megang tempik… !” seru Mama Fien yang tidak berusaha menepiskan tanganku dari balik celana dalamnya. Berarti dia juga ingin agar aku menyentuh memeknya yang ternyata tidak berjembut sama - sekali ini.

Yuniar kalah sama ibu tirinya ini. Waktu pertama kali aku menyentuh memeknya, masih ditumbuhi jembut. Baru besoknyalah jembut itu dicukur bersih.

Rambut di kepalanya pun Yuniar kalah satu langkah. Yuniar masih mempertahankan warna rambut aslinya yang hitam legam. Sementara rambut Mama Fience ini, diselang - seling warna hitam dengan warna cokelat.

“Ayo ah sambil mandi mendingan juga. Nanti di kamar mandi tempik mama mau diapain juga silakan… “kata Mama Fien sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. Kemudian ia membuka koper pakaiannya. Dan mengeluarkan peralatan mandinya, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi. sementara aku sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhku di luar kamar mandi.

Lalu aku ikut masuk ke dalam kamar mandi yang bersatu dengan kamar tidur untuk ibu tiri Yuniar itu.

Begitu aku masuk ke dalam kamar mandi, Mama Fien langsung memamerkan memeknya sambil berkata, “Nih tempikku sing arep tak kei karo sampeyan… ‘

“Mboten ngertos Mam. Kulo sanes tiang jawi, “sahutku.

“Nah itu bisa ngomong halus. “

“Yah… belajar sedikit - sedikit, karena aku lahir dan besar di Jogja. Tapi aku memang bukan orang sini Mam. “

“Sama dong. Mama juga bukan orang Jawa. Papa dan almarhumah ibu kandungnya Yuniar juga bukan orang Jawa. Semuanya berasal dari seberang, tapi pada besar di pulau Jawa. “

Pada waktu Mama Fien ngomong itulah, diam - diam kulepaskan celana dalamku. Kemudian kutarik tangan wanita itu dan kutempelkan telapaknya di kontolku yang langsung ngaceng begitu melihat memek Mama Fien barusan.

“Wooooow… ! “Mama Fien memegang kontolku dengan mata terbelalak, “Kok ada ya kontol yang segede dan sepanjang ini…?! Kebayang kalau sudah dimainkan di dalam memekku nanti… !”

“Ayolah kita mandi. Setelah mandi kita mau ngewe kan?”

“Iya Sayang… iyaaa… hihihiiiii… senengnya hati mama punya calon mantu yang pengertian gini… “Mama Fien memutar kan shower utama yang lalu memancarkan air hangat dari atas kepalanya. Aku pun ikutan berdiri di bawah pancaran air hangat shower, sambil memeluk dan menciumi bibirnya yang benar - benar sensual itu.

Rasanya aku merasa bisa “sambil menyelam minum air”.

Sambil bertualang, akan mendapatkan dukungan Mama Fien untuk dijadikan menantunya kelak.

Dan yang jelas, setelah mandi dan mengeringkan badan kami, Mama Fien duluan keluar dari kamar mandi, dengan hanya membelitkan handuk di tubuh seksinya.

Goresan baru akan mengisi lembaran kehidupanku yhang memang senang bertualang ini…

BERSAMBUNG
Share this games :

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.